Aneka Koleksi

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Aneka Koleksi

Untuk mengumpulkan berbagai macam koleksi...... baik pengetahuan dan berbagai macam koleksi lainnya


    Indonesia tidak pernah dijajah selama 350 tahun oleh Belanda

    Queen
    Queen
    Admin
    Admin


    Jumlah posting : 210
    Points : 6029
    Reputation : 4
    Join date : 19.04.10
    Age : 44

    Indonesia tidak pernah dijajah selama 350 tahun oleh Belanda Empty Indonesia tidak pernah dijajah selama 350 tahun oleh Belanda

    Post by Queen Mon Apr 19, 2010 11:45 pm



    Tanggal 8 Maret, 66 Tahun Lalu

    Oleh Nina Herlina L.

    "Wij sluiten nu.Vaarwel, tot betere tijden. Leve de Koningin!" (Kami
    akhiri sekarang. Selamat berpisah sampai waktu yang lebih baik. Hidup
    Sang Ratu!). Demikian NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep
    Maatschappij/Maskapai Radio Siaran Hindia Belanda) mengakhiri siarannya
    pada tanggal 8 Maret 1942.

    Enam puluh enam tahun yang lalu, tepatnya 8 Maret 1942, penjajahan
    Belanda di Indonesia berakhir sudah. Rupanya "waktu yang lebih baik"
    dalam siaran terakhir NIROM itu tidak pernah ada karena sejak 8 Maret
    1942
    Indonesia diduduki Pemerintahan Militer Jepang hingga tahun 1945. Indonesia menjadi negara merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.

    Masyarakat awam selalu mengatakan bahwa kita dijajah Belanda selama 350
    tahun. Benarkah demikian? Untuk ke sekian kalinya, harus ditegaskan
    bahwa "Tidak benar kita dijajah Belanda selama 350 tahun". Masyarakat
    memang tidak bisa disalahkan karena anggapan itu sudah tertulis dalam
    buku-buku pelajaran sejarah sejak
    Indonesia merdeka! Tidak bisa disalahkan juga ketika Bung Karno mengatakan, "Indonesia dijajah selama 350 tahun!" Sebab, ucapan ini hanya untuk membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme rakyat Indonesia saat perang kemerdekaan (1946-1949) menghadapi Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.

    Bung Karno menyatakan hal ini agaknya juga untuk meng-counter ucapan
    para penguasa Hindia Belanda. De Jong, misalnya, dengan arogan berkata,
    "Belanda sudah berkuasa 300 tahun dan masih akan berkuasa 300 tahun
    lagi!" Lalu Colijn yang dengan pongah berkoar, "Belanda tak akan
    tergoyahkan karena Belanda ini sekuat (Gunung) Mount Blanc di Alpen."

    Tulisan ini akan menjelaskan bahwa anggapan yang sudah menjadi mitos itu, tidak benar. Mari kita lihat sejak kapan kita (
    Indonesia) dijajah dan kapan pula penjajahan itu berakhir.

    Kedatangan penjajah

    Pada 1511, Portugis berhasil menguasai Malaka, sebuah emporium yang menghubungkan perdagangan dari
    India
    dan Cina. Dengan menguasai Malaka, Portugis berhasil mengendalikan
    perdagangan rempah-rempah seperti lada, cengkeh, pala, dan fuli dari
    Sumatra
    dan Maluku. Pada 1512, D`Albuquerque mengirim sebuah armada ke tempat
    asal rempah-rempah di Maluku. Dalam perjalanan itu mereka singgah di
    Banten, Sundakalapa, dan
    Cirebon. Dengan menggunakan nakhoda-nakhoda Jawa, armada itu tiba di Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara, akhirnya tiba juga di Ternate.

    Di Ternate, Portugis mendapat izin untuk membangun sebuah benteng.
    Portugis memantapkan kedudukannya di Maluku dan sempat meluaskan
    pendudukannya ke
    Timor.
    Dengan semboyan "gospel, glory, and gold" mereka juga sempat
    menyebarkan agama Katolik, terutama di Maluku. Waktu itu, Nusantara
    hanyalah merupakan salah satu mata rantai saja dalam dunia perdagangan
    milik Portugis yang menguasai separuh dunia ini (separuh lagi milik
    Spanyol) sejak dunia ini dibagi dua dalam Perjanjian Tordesillas tahun
    1493. Portugis menguasai wilayah yang bukan Kristen dari 100 mil di
    sebelah barat Semenanjung Verde, terus ke timur melalui Goa di India,
    hingga kepulauan rempah-rempah Maluku. Sisanya (kecuali Eropa) dikuasai
    Spanyol.

    Sejak dasawarsa terakhir abad ke-16, para pelaut Belanda berhasil menemukan jalan dagang ke
    Asia
    yang dirahasiakan Portugis sejak awal abad ke-16. Pada 1595, sebuah
    perusahaan dagang Belanda yang bernama Compagnie van Verre membiayai
    sebuah ekspedisi dagang ke Nusantara. Ekpedisi yang dipimpin oleh
    Cornelis de Houtman ini membawa empat buah kapal. Setelah menempuh
    perjalanan selama empat belas bulan, pada 22 Juni 1596, mereka berhasil
    mendarat di Pelabuhan Banten. Inilah titik awal kedatangan Belanda di
    Nusantara.

    Kunjungan pertama tidak berhasil karena sikap arogan Cornelis de
    Houtman. Pada 1 Mei 1598, Perseroan Amsterdam mengirim kembali
    rombongan perdagangannya ke Nusantara di bawah pimpinan Jacob van Neck,
    van Heemskerck, dan van Waerwijck. Dengan belajar dari kesalahan
    Cornelis de Houtman, mereka berhasil mengambil simpati penguasa Banten
    sehingga para pedagang Belanda ini diperbolehkan berdagang di Pelabuhan
    Banten. Ketiga kapal kembali ke negerinya dengan muatan penuh.
    Sementara itu, kapal lainnya meneruskan perjalanannya sampai ke Maluku
    untuk mencari cengkih dan pala.

    Dengan semakin ramainya perdagangan di perairan Nusantara, persaingan
    dan konflik pun meningkat. Baik di antara sesama pedagang Belanda
    maupun dengan pedagang asing lainnya seperti Portugis dan Inggris.
    Untuk mengatasi persaingan yang tidak sehat ini, pada 1602 di Amsterdam
    dibentuklah suatu wadah yang merupakan perserikatan dari berbagai
    perusahaan dagang yang tersebar di enam kota di Belanda. Wadah itu
    diberi nama Verenigde Oost-Indische Compagnie (Serikat Perusahaan
    Hindia Timur) disingkat VOC.

    Pemerintah Kerajaan Belanda (dalam hal ini Staaten General), memberi
    "izin dagang" (octrooi) pada VOC. VOC boleh menjalankan perang dan
    diplomasi di Asia, bahkan merebut wilayah-wilayah yang dianggap
    strategis bagi perdagangannya. VOC juga boleh memiliki angkatan perang
    sendiri dan mata uang sendiri. Dikatakan juga bahwa octrooi itu selalu
    bisa diperpanjang setiap 21 tahun. Sejak itu hanya armada-armada dagang
    VOC yang boleh berdagang di
    Asia (monopoli perdagangan).

    Dengan kekuasaan yang besar ini, VOC akhirnya menjadi "negara dalam
    negara" dan dengan itu pula mulai dari masa Jan Pieterszoon Coen
    (1619-1623, 1627-1629) sampai masa Cornelis Speelman (1681-1684)
    menjadi Gubernur Jenderal VOC, kota-kota dagang di Nusantara yang
    menjadi pusat perdagangan rempah-rempah berhasil dikuasai VOC. Batavia
    (sekarang Jakarta) menjadi pusat kedudukan VOC sejak 1619, Ambon
    dikuasai tahun 1630. Beberapa
    kota
    pelabuhan di Pulau Jawa baru diserahkan Mataram kepada VOC antara tahun
    1677-1705. Sementara di daerah pedalaman, raja-raja dan para bupati
    masih tetap berkuasa penuh. Peranan mereka hanya sebatas menjadi
    "tusschen personen" (perantara) penguasa VOC dan rakyat.

    "Power tends to Corrupt." Demikian kata Lord Acton, sejarawan Inggris
    terkemuka. VOC memiliki kekuasaan yang besar dan lama, VOC pun
    mengalami apa yang dikatakan Lord Acton. Pada 1799, secara resmi VOC
    dibubarkan akibat korupsi yang parah mulai dari "cacing cau" hingga
    Gubernur Jenderalnya. Pemerintah Belanda lalu menyita semua aset VOC
    untuk membayar utang-utangnya, termasuk wilayah-wilayah yang
    dikuasainya di
    Indonesia, seperti kota-kota pelabuhan penting dan pantai utara Pulau Jawa.

    Selama satu abad kemudian, Hindia Belanda berusaha melakukan
    konsolidasi kekuasaannya mulai dari Sabang-Merauke. Namun, tentu saja
    tidak mudah. Berbagai perang melawan kolonialisme muncul seperti Perang
    Padri (1821-1837), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh
    (1873-1907), Perang di Jambi (1833-1907), Perang di Lampung
    (1834-1856), Perang di Lombok (1843-1894), Perang Puputan di Bali
    (1846-1908), Perang di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah
    (1852-1908), Perlawanan di Sumatra Utara (1872-1904), Perang di Tanah
    Batak (1878-1907), dan Perang Aceh (1873-1912).

    Peperangan di seluruh Nusantara itu baru berakhir dengan berakhirnya
    Perang Aceh. Jadi baru setelah tahun 1912, Belanda benar-benar menjajah
    seluruh wilayah yang kemudian menjadi wilayah Republik
    Indonesia
    (kecuali Timor Timur). Jangan lupa pula bahwa antara 1811-1816,
    Pemerintah Hindia Belanda sempat diselingi oleh pemerintahan
    interregnum (pengantara) Inggris di bawah Letnan Gubernur Thomas
    Stamford Raffles.

    Saat-saat akhir

    Pada 7 Desember 1941, Angkatan Udara Jepang di bawah pimpinan Laksamana
    Nagano melancarkan serangan mendadak ke pangkalan angkatan laut AS di
    Pearl Harbour, Hawaii.
    Akibat serangan itu kekuatan angkatan laut AS di Timur Jauh lumpuh. AS
    pun menyatakan perang terhadap Jepang. Demikian pula Belanda sebagai
    salah satu sekutu AS menyatakan perang terhadap Jepang.

    Pada 18 Desember 1941, pukul 06.30, Gubernur Jenderal Hindia Belanda
    Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer melalui radio menyatakan
    perang terhadap Jepang. Pernyataan perang tersebut kemudian direspons
    oleh Jepang dengan menyatakan perang juga terhadap Pemerintah Hindia
    Belanda pada 1 Januari 1942. Setelah armada Sekutu dapat dihancurkan
    dalam pertempuran di Laut Jawa maka dengan mudah pasukan Jepang
    mendarat di beberapa tempat di pantai utara Pulau Jawa.

    Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memusatkan pertahanannya di sekitar pegunungan
    Bandung. Pada waktu itu kekuatan militer Hindia Belanda di Jawa berjumlah empat Divisi atau sekitar 40.000 prajurit termasuk pasukan Inggris, AS, dan Australia.
    Pasukan itu di bawah komando pasukan sekutu yang markas besarnya di
    Lembang dan Panglimanya ialah Letjen H. Ter Poorten dari Tentara Hindia
    Belanda (KNIL). Selanjutnya kedudukan Pemerintah Kolonial Belanda
    dipindahkan dari
    Batavia (Jakarta) ke Kota Bandung.

    Pasukan Jepang yang mendarat di Eretan Wetan adalah Detasemen Syoji.
    Pada saat itu satu detasemen pimpinannya berkekuatan 5.000 prajurit
    yang khusus ditugasi untuk merebut Kota Bandung. Satu batalion bergerak
    ke arah selatan melalui Anjatan, satu batalion ke arah barat melalui
    Pamanukan, dan sebagian pasukan melalui Sungai Cipunagara. Batalion
    Wakamatsu dapat merebut lapangan terbang Kalijati tanpa perlawanan
    berarti dari Angkatan Udara Inggris yang menjaga lapangan terbang itu.

    Pada 5 Maret 1942, seluruh detasemen tentara Jepang yang ada di
    Kalijati disiapkan untuk menggempur pertahanan Belanda di Ciater dan
    selanjutnya menyerbu
    Bandung. Akibat serbuan itu tentara Belanda dari Ciater mundur ke Lembang yang dijadikan benteng terakhir pertahanan Belanda.

    Pada 6 Maret 1942, Panglima Angkatan Darat Belanda Letnan Jenderal Ter
    Poorten memerintahkan Komandan Pertahanan Bandung Mayor Jenderal J. J.
    Pesman agar tidak mengadakan pertempuran di Bandung dan menyarankan
    mengadakan perundingan mengenai penyerahan pasukan yang berada di garis
    Utara-Selatan yang melalui Purwakarta dan Sumedang. Menurut Jenderal
    Ter Poorten,
    Bandung
    pada saat itu padat oleh penduduk sipil, wanita, dan anak-anak, dan
    apabila terjadi pertempuran maka banyak dari mereka yang akan jadi
    korban.

    Pada 7 Maret 1942 sore hari, Lembang jatuh ke tangan tentara Jepang.
    Mayjen J. J. Pesman mengirim utusan ke Lembang untuk merundingkan
    masalah itu. Kolonel Syoji menjawab bahwa untuk perundingan itu harus
    dilakukan di Gedung Isola (sekarang gedung Rektorat UPI Bandung).
    Sementara itu, Jenderal Imamura yang telah dihubungi Kolonel Syoji
    segera memerintahkan kepada bawahannya agar mengadakan kontak dengan
    Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer untuk mengadakan
    perundingan di Subang pada 8 Maret 1942 pagi. Akan tetapi, Letnan
    Jenderal Ter Poorten meminta Gubernur Jenderal agar usul itu ditolak.

    Jenderal Imamura mengeluarkan peringatan bahwa "Bila pada 8 Maret 1942
    pukul 10.00 pagi para pembesar Belanda belum juga berangkat ke Kalijati
    maka Bandung akan dibom sampai hancur." Sebagai bukti bahwa ancaman itu
    bukan sekadar gertakan, di atas Kota Bandung tampak pesawat-pesawat
    pembom Jepang dalam jumlah besar siap untuk melaksanakan tugasnya.

    Melihat kenyataan itu, Letnan Jenderal Ter Poorten dan Gubernur
    Jenderal Tjarda beserta para pembesar tentara Belanda lainnya berangkat
    ke Kalijati sesuai dengan tanggal dan waktu yang telah ditentukan. Pada
    mulanya Jenderal Ter Poorten hanya bersedia menyampaikan kapitulasi
    Bandung.
    Namun, karena Jenderal Imamura menolak usulan itu dan akan melaksanakan
    ultimatumnya. Akhirnya, Letnan Jenderal Ter Poorten dan Gubernur
    Jenderal Tjarda menyerahkan seluruh wilayah Hindia Belanda kepada
    Jepang tanpa syarat. Keesokan harinya, 9 Maret 1942 pukul 08.00 dalam
    siaran radio Bandung, terdengar perintah Jenderal Ter Poorten kepada
    seluruh pasukannya untuk menghentikan segala peperangan dan melakukan
    kapitulasi tanpa syarat.

    Itulah akhir kisah penjajahan Belanda. Setelah itu Jepang pun menduduki
    Indonesia hingga akhirnya merdeka 17 Agustus 1945. Jepang hanya berkuasa tiga tahun lima bulan delapan hari.

    Analisis

    Berdasarkan uraian di atas, kita bisa menghitung berapa lama sesungguhnya
    Indonesia
    dijajah Belanda. Kalau dihitung dari 1596 sampai 1942, jumlahnya 346
    tahun. Namun, tahun 1596 itu Belanda baru datang sebagai pedagang. Itu
    pun gagal mendapat izin dagang. Tahun 1613-1645, Sultan Agung dari
    Mataram, adalah raja besar yang menguasai seluruh Jawa, kecuali Banten,
    Batavia, dan Blambangan. Jadi, tidak bisa dikatakan Belanda sudah menjajah Pulau Jawa (yang menjadi bagian Indonesia kemudian).

    Selama seratus tahun dari mulai terbentuknya Hindia Belanda
    pascakeruntuhan VOC (dengan dipotong masa penjajahan Inggris selama 5
    tahun), Belanda harus berusaha keras menaklukkan berbagai wilayah di
    Nusantara hingga terciptanya Pax Neerlandica. Namun, demikian hingga
    akhir abad ke-19, beberapa kerajaan di
    Bali,
    dan awal abad ke-20, beberapa kerajaan di Nusa Tenggara Timur, masih
    mengadakan perjanjian sebagai negara bebas (secara hukum internasional)
    dengan Belanda. Jangan pula dilupakan hingga sekarang Aceh menolak
    disamakan dengan Jawa karena hingga 1912 Aceh adalah kerajaan yang
    masih berdaulat. Orang Aceh hanya mau mengakui mereka dijajah 33 tahun
    saja.

    Kesimpulannya, tidak benar kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Yang
    benar adalah, Belanda memerlukan waktu 300 tahun untuk menguasai
    seluruh Nusantara. ***



    Kesimpulannya, tidak benar
    kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Yang benar adalah, Belanda
    memerlukan waktu 300 tahun untuk menguasai seluruh Nusantara.


    Penulis, Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad/Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat/Ketua Pusat Kebudayaan Sunda Fakultas Sastra Unpad.

      Waktu sekarang Sat Sep 21, 2024 11:13 am