Sejarah kehidupan dibumi penuh oleh bencana alam dengan berbagai
tingkat dan kekuatannya. Salah satu yang menangkap perhatian adalah
kepunahan dinosaurus dan organisme lainnya sekitar 65 juta tahun yang
lalu – ditengah-tengah periode Cretaceous dan Tertiary – yang
memusnahkan sedikitnya setengah dari spesies yang ada. Bencana tadi,
tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan bencana terbesar yang
pernah ada : Bencana ini menghantam bumi 250 juta tahun silam, yang
disebut kepunahan massal akhir-permian : suatu peristiwa fundamental
bagi perkembangan kehidupan setelahnya.
Paleontologis menyebut
peristiwa ini, “The Mother Of Mass Extinctions”. Sekitar 90% dari semua
spesies yang ada dilautan hilang, didaratan hampir 2/3 spesies reptil
dan amphibi punah. Serangga pun tidak lepas dari peristiwa pembantaian
ini : hanya 30% dari spesies serangga yang selamat.
Akan tetapi,
dari bencana besar tersebut datanglah suatu perubahan. Berjuta-juta
tahun sebelum peristiwa akhir-permian, laut-laut dangkal didominasi
oleh bentuk kehidupan yang secara keseluruhan tidak dapat berpindah
tempat. Banyak binatang-binatang laut hanya tergeletak dilantai
samudera atau menenpel pada inangnya, untuk menyaring air atau menunggu
buruannya. Setelah adanya peristiwa tadi, yang dulu termasuk dalam
kelompok-kelompok minor – ikan, cumi-cumi, siput, dan kepiting –
mengalami perkembangan. Suatu garis keturunan baru yang kompleks
muncul. Tata ulang ekologi ini sangatlah dramatis, yang menjadi titik
tolak baru dalam sejarah kehidupan. Tidak hanya itu, peristiwa ini
menandai berakhirnya periode Permian dan mengawali periode Triassic,
ini juga menutup era Palezoik menjadi suatu awal bagi era Mesozoik.
Beberapa
tahun yang lalu, ada penemuan menarik mengenai penyebab dan konsekuensi
dari kepunahan massal akhir-permian ini, yang berpengaruh pada setiap
cabang ilmu pengtahuan tentang bumi. Beberapa dari penemuan tadi
termasuk didalamnya studi tentang perubahan singkat elemen-elemen kimia
dilautan lewat suatu dokumentasi detail sisa-sisa kepunahan juga ada
suatu analisa baru yang menunjukkan bahwa pernah terjadi erupsi gunung
meletus diujung periode Permo-Triassic.
Bagaimana pengaruh
peristiwa singkat ini pada suatu proses evolusi, yang sebagaimana kita
tahu bahwa evolusi cenderung membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi?
Apakah organisme selamat karena kebetulan, atau mereka telah
beradaptasi dengan baik pada peristiwa tersebut? Dan apakah organisme
yang hidup sekarang memiliki bentuk yang berbeda dengan keadaannya
sebelum kepunahan akhir-permian ini terjadi?
Hanya sedikit batuan yang tersisa
Untuk
menjawab pertanyaan diatas, kita harus mempelajari dahulu lebih dalam
tentang penyebab terjadinya bencana dan bagaimana cara spesies selamat
dari bencana tersebut. Sumber utama untuk mendapatkan informasi ini
berasal dari lapisan-lapisan pada batuan dan fosil. Sayangnya, sampel
batuan dari akhir permian dan awal periode Triassic ini sangatlah sulit
untuk didapatkan. Penurunan level samudera diakhir periode permian
menyebabkan terbatasnya batuan-batuan laut (marine rocks) yang
terendapkan didaratan.
Dan telah terbukti juga bahwa sangatlah
sulit untuk mengetahui bagaimana kehidupan bisa hilang dengan cepat,
yang ternyata keadaanya bervariasi pada tiap-tiap daerah. Beberapa
makhluk hidup, khususnya yang sensitif terhadap perubahan lingkungan,
akan langsung mati, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Erik Flugel dan
koleganya, yang sampai pada kesimpulannya setelah mengamati berbagai
batu karang yang berada di Cina Selatan dan Yunani. Bukti lain
mengindikasikan adanya peristiwa bertahap terhadap pemusnahan
kehidupan. Contohnya, saat mempelajari aneka ragam fauna yang
terawetkan pada singkapan batugamping di Texas Selatan dan Arizona,
salah seorang peneliti, Douglas H. Erwin, menemukan bahwa banyak dari
spesies siput sebenarnya sudah mulai punah pada pertengahan periode
Permian, jauh sebelum peristiwa kepunahan massal terjadi.
Studi
intensif terhadap penemuan baru pada perlapisan batuan yang berada di
Italia, Austria, dan Cina selatan sangat membantu kita untuk lebih
memahami masalah ini. Penemuan tadi mengindikasikan bahwa durasi
kepunahan ternyata lebih pendek daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Beberapa tahun yang lalu, peneliti percaya bahwa periode kepunahan ini
terjadi dalam jangka waktu 5-10 juta tahun. Sekarang diketahui bahwa
puncak bencana tadi bisa saja terjadi dalam waktu selama kurang dari 1
juta tahun.
Steven M. Stanley dari John Hopkins University
memiliki satu teori yang mengatakan bahwa peristiwa kepunahan tersebut
terdiri dari 2 (dua) episode, satu terjadi dipertengahan periode
Permian dan kedua diakhir periode permian. Jin Yugan dari Institut
Nanjing, samuel A. Bowring dari Institut Teknologi Massachussets dan
Douglas H. Erwin dari Smithsonian Institution berkolaborasi bersama
dalam suatu proyek untuk menentukan umur abu vulkanik didaerah Cina
Selatan dan secepatnya mampu memberikan pemahaman lebih baik terhadap
durasi jangka waktu peristiwa kepunahan ini terjadi.
Peristiwa
bencana akhir-permian ini memusnahkan lebih banyak organisme makhluk
hidup dibandingkan peristiwa lainnya. Kelompok organisme yang hidup
menempel pada lantai samudera dan menyaring material organik untuk
dijadikan nutrisi bagi kehidupannya adalah oganisme yang paling
menderita dari peristiwa ini. Termasuk didalamnya binatang koral,
brachiopoda, bryozoa, dan beraneka ragam echinoderma (lili laut). Yang
lainnya adalah kelompok-kelompok binatang lau seperti trilobita,
forminifera laut dangkal (sejenis zooplankton), dan ammonoid. Siput dan
nautiloid yang juga berasal dari periode ini, hanyalah menderita dalam
sebagian kecil saja.
Didaratan juga tidaklah lebih baik.
Hewan-hewan bertulang belakang dan serangga sama-sama mengalami
pemusnahan yang berarti. Diantara vertebrata, sebanyak 78% reptil dan
67% amphibi diperkirakan punah pada periode akhir-permian ini, meskipun
seberapa cepatnya kepunahan ini terjadi masih diperdebatkan.
Kepunahan
spesies serangga adalah yang paling besar pengaruhnya dalam
transformasi fauna. Dari 27 ordo serangga yang diketahui hidup pada
periode permian, 8 (delapan) punah diujung periode Permo-Triassic, 4
(empat) hampir saja punah namun menjadi normal kembali, dan 3 (tiga)
dapat bertahan hidup melewati peristiwa ini, sebelum akhirnya punah.
Ini hanyalah kepunahan serangga yang benar-benar telah teridentifikasi,
dan menjadi sebuah catatan tentang tingkat severitas (keparahan)
keadaan lingkungan pada masa ini.
Tanaman yang hidup didarat pun
tidak luput dari kepunahan. Greg J. Retallack dari university of Oregon
menunjukkan bahwa kepunahan tanaman jauh lebih dramatis lagi daripada
yang diperkirakan sebelumnya (punahnya tanaman turut berkontribusi pada
musnahnya serangga yang menjadikan tanaman sebagai makanannya)
Penyebab kepunahan
Setelah
diberikan bukti fosil dari flora fauna, laut dan darat, jelas bahwa
pada periode permian ini segalanya menjadi tak terkendali – setidaknya
apabila tiap spesies berkehendak untuk tetap hidup. Apa yang
menyebabkan pemusnahan besar itu terjadi? Tidak ada bukti tentang
adanya tumbukan benda-benda luar angkasa, sebagaimana yang membunuh
dinosaurus. Dipertengahan tahun 1980, ada satu perkumpulan ahli geologi
yang menyatakan bahwa mereka telah menemukan jejak-jejak Iridium dalam
jumlah kecil, yang menjadi indikator kuat adanya ledakan besar, pada
perlapisan batuan dari periode Permo-triassic di Cina Selatan. Meskipun
mereka sudah melakukan banyak cara, tidak ada yang benar-benar
memperhitungkan pernyataan ini.
Tidak ada bukti kematian secara
tiba-tiba, meskipun, satu kemungkinan adalah adanya bencana Vulkanik.
Kunci dari pernyataan tadi ada disebuah daerah, yang disebut Siberian
Traps, batuan disana terbentuk dari pembekuan lava kuno. Yang memiliki
tebal antara 400 – 3.700 m. dan memiliki volume sedikitnya 1,5 juta
km3, dan mungkin lebih besar lagi, karena terus meluas hingga ke
pegunungan Ural. ( bila diperbandingkan, letusan gunung Pinatubo tahun
1991 hanya bagaikan sebuah tiupan, yang mengeluarkan abu tanpa magma.
Mungkin perbandingan lebih baik yaitu dengan erupsi gunung Laki,
Islandia pada tahun 1783, yang mengeluarkan 15 km3 lava)
Penanggalan
radiometrik menyatakan bahwa seluruh lava di siberian traps berasal
dalam jangka waktu kurang dari 1 juta tahun, atau barangkali hanya
dalam 600.000 tahun, dari awal periode Permo-triassic. Paul R. Kenne
dari pusat Geokronologi Berkeley menemukan bahwa angka perkiraan ini
sesuai dengan umur erupsi besar lainnya, seperti yang menimbulkan
endapan abu vulkanik di Cina Selatan.
Mungkinkah bencana
vulkanik ini juga yang memyembur ke bumi diwaktu akhir-permian? Erupsi
gunung meletus dikenal mempunyai banyak variasi efek jangka-pendek.
Termasuk didalamnya pendinginan suhu yang disebabkan debu dan sulfat
yang disemburkan k edalam stratosfer, hujan asam, gas beracun, dan
peningkatan radiasi sinar ultraviolet dari terkikisnya lapisan ozon.
Untuk jangka panjang, karbon dioksida yang dihembuskan ke udara bisa
menuju pada penghangatan suhu bumi.
Hasil dari hipotesis ini,
yang membunuh 90% spesies di samudera – sulit untuk diterima.
Vulkanisme, bahkan yang sebesar dan sekuat yang membentuk Siberian
Traps, masih belum cukup untuk menyebabkan peristiwa kepunahan massal
ini terjadi. Thomas A. Vogel dari Michigan State University, ia
meneliti serpihan-serpihan batu debu vulkanik dari erupsi gunung yang
terjadi dalam jangka waktu 100 juta tahun yang lalu. Menemukan bahwa
tidak ada satu pun kejadian erupsi gunung meletus ini yang benar-benar
berakibat besar pada diversitas regional dan kehidupan global baik
didarat maupun dilautan.
Dan lagi, kerusakan lingkungan yang
dihasilkan oleh suatu erupsi sangat bergantung pada beberapa faktor.
Banyak efek vulkanik, seperti jumlah sulfat yang disemburkan ke
stratosfer, sulit untuk menjadi sebuah indikasi erupsi yang terjadi 250
juta tahun silam. Jadi, erupsi bisa saja berpengaruh dalam peristiwa
kepunahan, namun hanya bagian dari sebuah proses yang lebih kompleks.
Geokimia dan Laut yang Tidak Stabil
Bukti
baru yang paling menarik perhatian tentang kepunahan massal
akhir-permian ini datang dari ilmu geokimia. Barangkali perubahan
struktur geokimia adalah kunci yang paling relevan mengenai peningkatan
rasio isotop karbon yang ditemukan di bebatuan (spesifiknya, rasio
karbon-12 ke karbon-13). Fakta ini mengindikasikan, lebih banyak
material organik yang terpendam selama periode akhir-permian
dibandingkan periode-periode sebelumnya.
Meskipun karbon
terpendam ini memberitahu kita sesuatu tentang perubahan struktur
geokimia dimasa akhir-permian, hal ini belum sepenuhnya jelas. Bisa
saja ada sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, semisal penurunan
mematikan level muka air laut. Dimasa awal-permian, benua tergabung
menjadi satu membentuk superkontinent yang disebut Pangaea.
Disekeliling benua, batu-batu karang dan komunitas laut-dangkal lainnya
bermunculan. Beberapa juta tahun kemudian, didekat periode
akhir-permian, level muka air laut turun. (tidak ada yang tahu jelasnya
kenapa, tapi bisa saja disebabkan oleh perubahan struktur lapisan
mantel bumi yang membentuk perluasan lantai samudera). Penurunan ini
mengganggu habitat yang berada disekitar pantai. Semakin banyak tepi
benua Pangaea yang terekspos, semakin besar pula erosi dan oksidasi
material organik yang bisa terjadi. Oksidasi inilah yang menurunkan
kadar oksigen dan meningkatkan kadar karbon dioksida di atmosfer,
meningkatkan kelembapan udara menghangatkan bumi sebesar 2o Celsius.
Pengrusakan
yang lebih besar lagi terjadi ketika level muka air laut kembali
meningkat, mungkin beberapa ribu tahun setelahnya. Peningkatan muka air
laut ini mengikis habitat yang berada disekitaran pantai dan naik
menyapu ke daratan. Tidak diragukan bahwa intrusi air laut tersebut
membunuh banyak komunitas pantai. Penurunan kadar oksigen diatmosfer
juga menambah kondisi lingkungan yang telah berkembang tadi menjad
lebih parah. sedikitnya jumlah oksigen juga menghantui samudera,
menyebabkan Anoxia, yang mana dapat membuat pingsan organisme yang
hidup disana. Bukti air yang ter-anoxia ini mencerminkan anomali
geokimia. Beberapa peneliti membuat pernyataan mengesankan, meskipun
tidak benar-benar menarik perhatian, alasan bahwa corak kepunahan
diantara aneka ragam spesies mencerminkan kemampuan organisme bertahan
dalam menangani anoxia.
Apa yang benar-benar menyebabkan
kepunahan? Tidak mungkin hanya seperti sebutir peluru yang ditembakkan
dan kehidupan langsung musnah, akan tetapi semua kemungkinan yang
disebutkan diatas bisa saja turut berkontribusi. Sebuah
ketidakberuntungan bagi flora fauna permian bila mereka harus
berinteraksi pada semua kemungkinan tersebut pada waktu yang sama.
Peneliti
percaya bahwa proses kepunahan terdiri dari 3 (tiga) fase. Pertama
dimulai dengan penurunan level muka air laut, yang menghilangkan
habitat disekeliling pangaea, ketidakstabilan iklim dan eliminasi dari
spesies yang terdistribusi sempit. Semakin lanjut regresi samudera
tadi, fase kedua dimulai, dengan erupsi vulkanik dan pelepasan karbon
dioksida dalam jumlah besar ke atmosfer, yang menambah ketidakstabilan
iklim dan menyebabkan keruntuhan ekologi. Peningkatan level muka air
laut dan rentetan banjir yang mengandung air yang ter-anoxia
(kekurangan oksigen) diakhir periode permian mengawali fase yang
ketiga, hal ini merusak habitat darat disekitar pantai dan
berkontribusi besar dalam kepunahan organisme yang membutuhkan oksigen
bagi kehidupannya.
Kehidupan Setelah Kematian
Periode
setelah peristiwa kepunahan akhir-permian sama menariknya dengan
peristiwa kepunahan itu sendiri. Kehidupan mulai normal kembali
berjuta-tahun setelahnya. Dalam hal ini, sepertinya, membutuhkan waktu
sekitar 5 juta tahun ( ada kemungkinan lebih lama daripada yang
diperkirakan, karena buruknya kondisi fosil-fosil yang berhasil
diselamatkan). Dengan menyampingkan seberapa lama waktu yang dibutuhkan
untuk menjadi normal kembali, kehidupan dibumi berubah secara dramatis.
Seperti
yang diawal disebutkan bahwa sebagian besar binatang yang tidak mampu
berpindah tempat mendominasi lautan permian; brachipoda, bryozoa, dan
echinoderma. Mereka tergeletak diam di dasar, menyaring air untuk
mendapatkan makanan atau menunggu binatang buruan berenang mendekat.
Binatang yang mampu berpindah tempat – ikan, cephalopoda (cumi-cumi dan
kerabatnya) dan gastropoda (siput) – hanya membentuk sebagian kecil
dari komunitas laut. Beberapa trilobita tetap bertahan tidak lama
setelah peristiwa kepunahan terjadi, pada masa yang disebut survival
stage of early Triassic, beberapa spesies yang bertahan lainnya
berkecenderungan karena mereka tersebar luas dan jumlahnya banyak.
Fauna diawal periode Triassic terdiri dari beberapa clam, ammonoid, dan
beberapa gastropoda. Nenek moyang mamalia, yang menyerupai reptile,
Lystrosaurus, vertebrata darat yang ditemukan diseantero Pangaea dan
spesies clam Claraia yang mampu bertahan hidup disamudera. Ditengah
periode Triassic, sekitar 25 juta tahun setelahnya, sea urchin
(menyerupai bintang laut) dan kelompok-kelompok organisme lain yang
sensitif terhadap perubahan lingkungan mulai bermunculan kembali,
menandai awal kembalinya kondisi normal binatang-binatang laut.
“Lazarus Taxa” (seperti yang oleh David Jablonski dari Universitas
Chicago namakan untuk mereka, karena mereka kembali dari kematian)
mulai bermunculan diantara fauna yang bertahan hidup.
Pada saat
ini, lautan memiliki bentuk kehidupan yang hampir menyerupai samudera
modern. Lebih banyak makhluk hidup yang dapat berpindah tempat, seperti
siput, gastropoda dan kepiting, mendominasi. Kenakeragaman cephalopoda
dan predator laut juga bermunculan. Sebuah kontes evolusi antara
predator dan buruannya, membantu perubahan dalam arsitektur tubuh di
era mesozoik, yang menyebabkan beragam fauna memiliki lebih banyak
daging dibandingkan makhluk hidup yang ada di era paleozoik. Perubahan
tersebut menghasilkan suatu ekosistem yang lebih kompleks dan lebih
canggih – karena lebih banyak pilihan menu untuk dimakan,
Kita
pun tahu, bahwa beberapa reptile dan kelompok amphibi akhirnya
berangsur-angsur punah. Serangga pun mengalami perubahan bentuk menjadi
variasi kelompok yang menyerupai “dragonfly”, memiliki sayap yang tidak
dapat dilipat ketubuhnya. Bentuk baru ini, yang merupakan 98% dari
serangga sekarang, juga memiliki stage terpisah antara larva dan
dewasa. Adaptasi ini mencerminkan kemampuan untuk menumbuhkan habitat
baru juga untuk bertahan menghadapi perubahan musim dan ketidakstabilan
iklim.
Yang Cocok Akan Bertahan Hidup?
Fauna yang
bertahan hidup, gampangnya karena mereka memiliki jumlah besar dan
terdistribusi luas diseantero pangaea sebelum peristiwa kepunahan
terjadi. Dengan begitu mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk
bertahan hidup. Alasan yang cukup kuat untuk membedakan antara yang
selamat dan yang tidak selamat.
Satu hal yang pasti dapat
dikatakan adalah bahwa kepunahan akhir-permian ini memiliki efek
terbesar dalam sejarah kehidupan sejak bermunculannya flora dan fauna
kompleks. Tanpa episode ini, mungkin bila kita melihat anak-anak kecil
bermain dikolam, kita akan melihat mereka menangkap trilobita bukan
menangkap ikan yang lewat. Dan kita akan lebih banyak belajar tentang
crinoida dan brachiopoda dibandingkan belajar tentang bintang laut dan
sea urchin.
tingkat dan kekuatannya. Salah satu yang menangkap perhatian adalah
kepunahan dinosaurus dan organisme lainnya sekitar 65 juta tahun yang
lalu – ditengah-tengah periode Cretaceous dan Tertiary – yang
memusnahkan sedikitnya setengah dari spesies yang ada. Bencana tadi,
tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan bencana terbesar yang
pernah ada : Bencana ini menghantam bumi 250 juta tahun silam, yang
disebut kepunahan massal akhir-permian : suatu peristiwa fundamental
bagi perkembangan kehidupan setelahnya.
Paleontologis menyebut
peristiwa ini, “The Mother Of Mass Extinctions”. Sekitar 90% dari semua
spesies yang ada dilautan hilang, didaratan hampir 2/3 spesies reptil
dan amphibi punah. Serangga pun tidak lepas dari peristiwa pembantaian
ini : hanya 30% dari spesies serangga yang selamat.
Akan tetapi,
dari bencana besar tersebut datanglah suatu perubahan. Berjuta-juta
tahun sebelum peristiwa akhir-permian, laut-laut dangkal didominasi
oleh bentuk kehidupan yang secara keseluruhan tidak dapat berpindah
tempat. Banyak binatang-binatang laut hanya tergeletak dilantai
samudera atau menenpel pada inangnya, untuk menyaring air atau menunggu
buruannya. Setelah adanya peristiwa tadi, yang dulu termasuk dalam
kelompok-kelompok minor – ikan, cumi-cumi, siput, dan kepiting –
mengalami perkembangan. Suatu garis keturunan baru yang kompleks
muncul. Tata ulang ekologi ini sangatlah dramatis, yang menjadi titik
tolak baru dalam sejarah kehidupan. Tidak hanya itu, peristiwa ini
menandai berakhirnya periode Permian dan mengawali periode Triassic,
ini juga menutup era Palezoik menjadi suatu awal bagi era Mesozoik.
Beberapa
tahun yang lalu, ada penemuan menarik mengenai penyebab dan konsekuensi
dari kepunahan massal akhir-permian ini, yang berpengaruh pada setiap
cabang ilmu pengtahuan tentang bumi. Beberapa dari penemuan tadi
termasuk didalamnya studi tentang perubahan singkat elemen-elemen kimia
dilautan lewat suatu dokumentasi detail sisa-sisa kepunahan juga ada
suatu analisa baru yang menunjukkan bahwa pernah terjadi erupsi gunung
meletus diujung periode Permo-Triassic.
Bagaimana pengaruh
peristiwa singkat ini pada suatu proses evolusi, yang sebagaimana kita
tahu bahwa evolusi cenderung membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi?
Apakah organisme selamat karena kebetulan, atau mereka telah
beradaptasi dengan baik pada peristiwa tersebut? Dan apakah organisme
yang hidup sekarang memiliki bentuk yang berbeda dengan keadaannya
sebelum kepunahan akhir-permian ini terjadi?
Hanya sedikit batuan yang tersisa
Untuk
menjawab pertanyaan diatas, kita harus mempelajari dahulu lebih dalam
tentang penyebab terjadinya bencana dan bagaimana cara spesies selamat
dari bencana tersebut. Sumber utama untuk mendapatkan informasi ini
berasal dari lapisan-lapisan pada batuan dan fosil. Sayangnya, sampel
batuan dari akhir permian dan awal periode Triassic ini sangatlah sulit
untuk didapatkan. Penurunan level samudera diakhir periode permian
menyebabkan terbatasnya batuan-batuan laut (marine rocks) yang
terendapkan didaratan.
Dan telah terbukti juga bahwa sangatlah
sulit untuk mengetahui bagaimana kehidupan bisa hilang dengan cepat,
yang ternyata keadaanya bervariasi pada tiap-tiap daerah. Beberapa
makhluk hidup, khususnya yang sensitif terhadap perubahan lingkungan,
akan langsung mati, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Erik Flugel dan
koleganya, yang sampai pada kesimpulannya setelah mengamati berbagai
batu karang yang berada di Cina Selatan dan Yunani. Bukti lain
mengindikasikan adanya peristiwa bertahap terhadap pemusnahan
kehidupan. Contohnya, saat mempelajari aneka ragam fauna yang
terawetkan pada singkapan batugamping di Texas Selatan dan Arizona,
salah seorang peneliti, Douglas H. Erwin, menemukan bahwa banyak dari
spesies siput sebenarnya sudah mulai punah pada pertengahan periode
Permian, jauh sebelum peristiwa kepunahan massal terjadi.
Studi
intensif terhadap penemuan baru pada perlapisan batuan yang berada di
Italia, Austria, dan Cina selatan sangat membantu kita untuk lebih
memahami masalah ini. Penemuan tadi mengindikasikan bahwa durasi
kepunahan ternyata lebih pendek daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Beberapa tahun yang lalu, peneliti percaya bahwa periode kepunahan ini
terjadi dalam jangka waktu 5-10 juta tahun. Sekarang diketahui bahwa
puncak bencana tadi bisa saja terjadi dalam waktu selama kurang dari 1
juta tahun.
Steven M. Stanley dari John Hopkins University
memiliki satu teori yang mengatakan bahwa peristiwa kepunahan tersebut
terdiri dari 2 (dua) episode, satu terjadi dipertengahan periode
Permian dan kedua diakhir periode permian. Jin Yugan dari Institut
Nanjing, samuel A. Bowring dari Institut Teknologi Massachussets dan
Douglas H. Erwin dari Smithsonian Institution berkolaborasi bersama
dalam suatu proyek untuk menentukan umur abu vulkanik didaerah Cina
Selatan dan secepatnya mampu memberikan pemahaman lebih baik terhadap
durasi jangka waktu peristiwa kepunahan ini terjadi.
Peristiwa
bencana akhir-permian ini memusnahkan lebih banyak organisme makhluk
hidup dibandingkan peristiwa lainnya. Kelompok organisme yang hidup
menempel pada lantai samudera dan menyaring material organik untuk
dijadikan nutrisi bagi kehidupannya adalah oganisme yang paling
menderita dari peristiwa ini. Termasuk didalamnya binatang koral,
brachiopoda, bryozoa, dan beraneka ragam echinoderma (lili laut). Yang
lainnya adalah kelompok-kelompok binatang lau seperti trilobita,
forminifera laut dangkal (sejenis zooplankton), dan ammonoid. Siput dan
nautiloid yang juga berasal dari periode ini, hanyalah menderita dalam
sebagian kecil saja.
Didaratan juga tidaklah lebih baik.
Hewan-hewan bertulang belakang dan serangga sama-sama mengalami
pemusnahan yang berarti. Diantara vertebrata, sebanyak 78% reptil dan
67% amphibi diperkirakan punah pada periode akhir-permian ini, meskipun
seberapa cepatnya kepunahan ini terjadi masih diperdebatkan.
Kepunahan
spesies serangga adalah yang paling besar pengaruhnya dalam
transformasi fauna. Dari 27 ordo serangga yang diketahui hidup pada
periode permian, 8 (delapan) punah diujung periode Permo-Triassic, 4
(empat) hampir saja punah namun menjadi normal kembali, dan 3 (tiga)
dapat bertahan hidup melewati peristiwa ini, sebelum akhirnya punah.
Ini hanyalah kepunahan serangga yang benar-benar telah teridentifikasi,
dan menjadi sebuah catatan tentang tingkat severitas (keparahan)
keadaan lingkungan pada masa ini.
Tanaman yang hidup didarat pun
tidak luput dari kepunahan. Greg J. Retallack dari university of Oregon
menunjukkan bahwa kepunahan tanaman jauh lebih dramatis lagi daripada
yang diperkirakan sebelumnya (punahnya tanaman turut berkontribusi pada
musnahnya serangga yang menjadikan tanaman sebagai makanannya)
Penyebab kepunahan
Setelah
diberikan bukti fosil dari flora fauna, laut dan darat, jelas bahwa
pada periode permian ini segalanya menjadi tak terkendali – setidaknya
apabila tiap spesies berkehendak untuk tetap hidup. Apa yang
menyebabkan pemusnahan besar itu terjadi? Tidak ada bukti tentang
adanya tumbukan benda-benda luar angkasa, sebagaimana yang membunuh
dinosaurus. Dipertengahan tahun 1980, ada satu perkumpulan ahli geologi
yang menyatakan bahwa mereka telah menemukan jejak-jejak Iridium dalam
jumlah kecil, yang menjadi indikator kuat adanya ledakan besar, pada
perlapisan batuan dari periode Permo-triassic di Cina Selatan. Meskipun
mereka sudah melakukan banyak cara, tidak ada yang benar-benar
memperhitungkan pernyataan ini.
Tidak ada bukti kematian secara
tiba-tiba, meskipun, satu kemungkinan adalah adanya bencana Vulkanik.
Kunci dari pernyataan tadi ada disebuah daerah, yang disebut Siberian
Traps, batuan disana terbentuk dari pembekuan lava kuno. Yang memiliki
tebal antara 400 – 3.700 m. dan memiliki volume sedikitnya 1,5 juta
km3, dan mungkin lebih besar lagi, karena terus meluas hingga ke
pegunungan Ural. ( bila diperbandingkan, letusan gunung Pinatubo tahun
1991 hanya bagaikan sebuah tiupan, yang mengeluarkan abu tanpa magma.
Mungkin perbandingan lebih baik yaitu dengan erupsi gunung Laki,
Islandia pada tahun 1783, yang mengeluarkan 15 km3 lava)
Penanggalan
radiometrik menyatakan bahwa seluruh lava di siberian traps berasal
dalam jangka waktu kurang dari 1 juta tahun, atau barangkali hanya
dalam 600.000 tahun, dari awal periode Permo-triassic. Paul R. Kenne
dari pusat Geokronologi Berkeley menemukan bahwa angka perkiraan ini
sesuai dengan umur erupsi besar lainnya, seperti yang menimbulkan
endapan abu vulkanik di Cina Selatan.
Mungkinkah bencana
vulkanik ini juga yang memyembur ke bumi diwaktu akhir-permian? Erupsi
gunung meletus dikenal mempunyai banyak variasi efek jangka-pendek.
Termasuk didalamnya pendinginan suhu yang disebabkan debu dan sulfat
yang disemburkan k edalam stratosfer, hujan asam, gas beracun, dan
peningkatan radiasi sinar ultraviolet dari terkikisnya lapisan ozon.
Untuk jangka panjang, karbon dioksida yang dihembuskan ke udara bisa
menuju pada penghangatan suhu bumi.
Hasil dari hipotesis ini,
yang membunuh 90% spesies di samudera – sulit untuk diterima.
Vulkanisme, bahkan yang sebesar dan sekuat yang membentuk Siberian
Traps, masih belum cukup untuk menyebabkan peristiwa kepunahan massal
ini terjadi. Thomas A. Vogel dari Michigan State University, ia
meneliti serpihan-serpihan batu debu vulkanik dari erupsi gunung yang
terjadi dalam jangka waktu 100 juta tahun yang lalu. Menemukan bahwa
tidak ada satu pun kejadian erupsi gunung meletus ini yang benar-benar
berakibat besar pada diversitas regional dan kehidupan global baik
didarat maupun dilautan.
Dan lagi, kerusakan lingkungan yang
dihasilkan oleh suatu erupsi sangat bergantung pada beberapa faktor.
Banyak efek vulkanik, seperti jumlah sulfat yang disemburkan ke
stratosfer, sulit untuk menjadi sebuah indikasi erupsi yang terjadi 250
juta tahun silam. Jadi, erupsi bisa saja berpengaruh dalam peristiwa
kepunahan, namun hanya bagian dari sebuah proses yang lebih kompleks.
Geokimia dan Laut yang Tidak Stabil
Bukti
baru yang paling menarik perhatian tentang kepunahan massal
akhir-permian ini datang dari ilmu geokimia. Barangkali perubahan
struktur geokimia adalah kunci yang paling relevan mengenai peningkatan
rasio isotop karbon yang ditemukan di bebatuan (spesifiknya, rasio
karbon-12 ke karbon-13). Fakta ini mengindikasikan, lebih banyak
material organik yang terpendam selama periode akhir-permian
dibandingkan periode-periode sebelumnya.
Meskipun karbon
terpendam ini memberitahu kita sesuatu tentang perubahan struktur
geokimia dimasa akhir-permian, hal ini belum sepenuhnya jelas. Bisa
saja ada sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, semisal penurunan
mematikan level muka air laut. Dimasa awal-permian, benua tergabung
menjadi satu membentuk superkontinent yang disebut Pangaea.
Disekeliling benua, batu-batu karang dan komunitas laut-dangkal lainnya
bermunculan. Beberapa juta tahun kemudian, didekat periode
akhir-permian, level muka air laut turun. (tidak ada yang tahu jelasnya
kenapa, tapi bisa saja disebabkan oleh perubahan struktur lapisan
mantel bumi yang membentuk perluasan lantai samudera). Penurunan ini
mengganggu habitat yang berada disekitar pantai. Semakin banyak tepi
benua Pangaea yang terekspos, semakin besar pula erosi dan oksidasi
material organik yang bisa terjadi. Oksidasi inilah yang menurunkan
kadar oksigen dan meningkatkan kadar karbon dioksida di atmosfer,
meningkatkan kelembapan udara menghangatkan bumi sebesar 2o Celsius.
Pengrusakan
yang lebih besar lagi terjadi ketika level muka air laut kembali
meningkat, mungkin beberapa ribu tahun setelahnya. Peningkatan muka air
laut ini mengikis habitat yang berada disekitaran pantai dan naik
menyapu ke daratan. Tidak diragukan bahwa intrusi air laut tersebut
membunuh banyak komunitas pantai. Penurunan kadar oksigen diatmosfer
juga menambah kondisi lingkungan yang telah berkembang tadi menjad
lebih parah. sedikitnya jumlah oksigen juga menghantui samudera,
menyebabkan Anoxia, yang mana dapat membuat pingsan organisme yang
hidup disana. Bukti air yang ter-anoxia ini mencerminkan anomali
geokimia. Beberapa peneliti membuat pernyataan mengesankan, meskipun
tidak benar-benar menarik perhatian, alasan bahwa corak kepunahan
diantara aneka ragam spesies mencerminkan kemampuan organisme bertahan
dalam menangani anoxia.
Apa yang benar-benar menyebabkan
kepunahan? Tidak mungkin hanya seperti sebutir peluru yang ditembakkan
dan kehidupan langsung musnah, akan tetapi semua kemungkinan yang
disebutkan diatas bisa saja turut berkontribusi. Sebuah
ketidakberuntungan bagi flora fauna permian bila mereka harus
berinteraksi pada semua kemungkinan tersebut pada waktu yang sama.
Peneliti
percaya bahwa proses kepunahan terdiri dari 3 (tiga) fase. Pertama
dimulai dengan penurunan level muka air laut, yang menghilangkan
habitat disekeliling pangaea, ketidakstabilan iklim dan eliminasi dari
spesies yang terdistribusi sempit. Semakin lanjut regresi samudera
tadi, fase kedua dimulai, dengan erupsi vulkanik dan pelepasan karbon
dioksida dalam jumlah besar ke atmosfer, yang menambah ketidakstabilan
iklim dan menyebabkan keruntuhan ekologi. Peningkatan level muka air
laut dan rentetan banjir yang mengandung air yang ter-anoxia
(kekurangan oksigen) diakhir periode permian mengawali fase yang
ketiga, hal ini merusak habitat darat disekitar pantai dan
berkontribusi besar dalam kepunahan organisme yang membutuhkan oksigen
bagi kehidupannya.
Kehidupan Setelah Kematian
Periode
setelah peristiwa kepunahan akhir-permian sama menariknya dengan
peristiwa kepunahan itu sendiri. Kehidupan mulai normal kembali
berjuta-tahun setelahnya. Dalam hal ini, sepertinya, membutuhkan waktu
sekitar 5 juta tahun ( ada kemungkinan lebih lama daripada yang
diperkirakan, karena buruknya kondisi fosil-fosil yang berhasil
diselamatkan). Dengan menyampingkan seberapa lama waktu yang dibutuhkan
untuk menjadi normal kembali, kehidupan dibumi berubah secara dramatis.
Seperti
yang diawal disebutkan bahwa sebagian besar binatang yang tidak mampu
berpindah tempat mendominasi lautan permian; brachipoda, bryozoa, dan
echinoderma. Mereka tergeletak diam di dasar, menyaring air untuk
mendapatkan makanan atau menunggu binatang buruan berenang mendekat.
Binatang yang mampu berpindah tempat – ikan, cephalopoda (cumi-cumi dan
kerabatnya) dan gastropoda (siput) – hanya membentuk sebagian kecil
dari komunitas laut. Beberapa trilobita tetap bertahan tidak lama
setelah peristiwa kepunahan terjadi, pada masa yang disebut survival
stage of early Triassic, beberapa spesies yang bertahan lainnya
berkecenderungan karena mereka tersebar luas dan jumlahnya banyak.
Fauna diawal periode Triassic terdiri dari beberapa clam, ammonoid, dan
beberapa gastropoda. Nenek moyang mamalia, yang menyerupai reptile,
Lystrosaurus, vertebrata darat yang ditemukan diseantero Pangaea dan
spesies clam Claraia yang mampu bertahan hidup disamudera. Ditengah
periode Triassic, sekitar 25 juta tahun setelahnya, sea urchin
(menyerupai bintang laut) dan kelompok-kelompok organisme lain yang
sensitif terhadap perubahan lingkungan mulai bermunculan kembali,
menandai awal kembalinya kondisi normal binatang-binatang laut.
“Lazarus Taxa” (seperti yang oleh David Jablonski dari Universitas
Chicago namakan untuk mereka, karena mereka kembali dari kematian)
mulai bermunculan diantara fauna yang bertahan hidup.
Pada saat
ini, lautan memiliki bentuk kehidupan yang hampir menyerupai samudera
modern. Lebih banyak makhluk hidup yang dapat berpindah tempat, seperti
siput, gastropoda dan kepiting, mendominasi. Kenakeragaman cephalopoda
dan predator laut juga bermunculan. Sebuah kontes evolusi antara
predator dan buruannya, membantu perubahan dalam arsitektur tubuh di
era mesozoik, yang menyebabkan beragam fauna memiliki lebih banyak
daging dibandingkan makhluk hidup yang ada di era paleozoik. Perubahan
tersebut menghasilkan suatu ekosistem yang lebih kompleks dan lebih
canggih – karena lebih banyak pilihan menu untuk dimakan,
Kita
pun tahu, bahwa beberapa reptile dan kelompok amphibi akhirnya
berangsur-angsur punah. Serangga pun mengalami perubahan bentuk menjadi
variasi kelompok yang menyerupai “dragonfly”, memiliki sayap yang tidak
dapat dilipat ketubuhnya. Bentuk baru ini, yang merupakan 98% dari
serangga sekarang, juga memiliki stage terpisah antara larva dan
dewasa. Adaptasi ini mencerminkan kemampuan untuk menumbuhkan habitat
baru juga untuk bertahan menghadapi perubahan musim dan ketidakstabilan
iklim.
Yang Cocok Akan Bertahan Hidup?
Fauna yang
bertahan hidup, gampangnya karena mereka memiliki jumlah besar dan
terdistribusi luas diseantero pangaea sebelum peristiwa kepunahan
terjadi. Dengan begitu mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk
bertahan hidup. Alasan yang cukup kuat untuk membedakan antara yang
selamat dan yang tidak selamat.
Satu hal yang pasti dapat
dikatakan adalah bahwa kepunahan akhir-permian ini memiliki efek
terbesar dalam sejarah kehidupan sejak bermunculannya flora dan fauna
kompleks. Tanpa episode ini, mungkin bila kita melihat anak-anak kecil
bermain dikolam, kita akan melihat mereka menangkap trilobita bukan
menangkap ikan yang lewat. Dan kita akan lebih banyak belajar tentang
crinoida dan brachiopoda dibandingkan belajar tentang bintang laut dan
sea urchin.