Aneka Koleksi

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Aneka Koleksi

Untuk mengumpulkan berbagai macam koleksi...... baik pengetahuan dan berbagai macam koleksi lainnya


    Penghancuran masal di muka bumi

    Queen
    Queen
    Admin
    Admin


    Jumlah posting : 210
    Points : 5904
    Reputation : 4
    Join date : 19.04.10
    Age : 44

    Penghancuran masal di muka bumi Empty Penghancuran masal di muka bumi

    Post by Queen Fri May 07, 2010 2:34 pm

    Sejarah kehidupan dibumi penuh oleh bencana alam dengan berbagai
    tingkat dan kekuatannya. Salah satu yang menangkap perhatian adalah
    kepunahan dinosaurus dan organisme lainnya sekitar 65 juta tahun yang
    lalu – ditengah-tengah periode Cretaceous dan Tertiary – yang
    memusnahkan sedikitnya setengah dari spesies yang ada. Bencana tadi,
    tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan bencana terbesar yang
    pernah ada : Bencana ini menghantam bumi 250 juta tahun silam, yang
    disebut kepunahan massal akhir-permian : suatu peristiwa fundamental
    bagi perkembangan kehidupan setelahnya.

    Paleontologis menyebut
    peristiwa ini, “The Mother Of Mass Extinctions”. Sekitar 90% dari semua
    spesies yang ada dilautan hilang, didaratan hampir 2/3 spesies reptil
    dan amphibi punah. Serangga pun tidak lepas dari peristiwa pembantaian
    ini : hanya 30% dari spesies serangga yang selamat.

    Akan tetapi,
    dari bencana besar tersebut datanglah suatu perubahan. Berjuta-juta
    tahun sebelum peristiwa akhir-permian, laut-laut dangkal didominasi
    oleh bentuk kehidupan yang secara keseluruhan tidak dapat berpindah
    tempat. Banyak binatang-binatang laut hanya tergeletak dilantai
    samudera atau menenpel pada inangnya, untuk menyaring air atau menunggu
    buruannya. Setelah adanya peristiwa tadi, yang dulu termasuk dalam
    kelompok-kelompok minor – ikan, cumi-cumi, siput, dan kepiting –
    mengalami perkembangan. Suatu garis keturunan baru yang kompleks
    muncul. Tata ulang ekologi ini sangatlah dramatis, yang menjadi titik
    tolak baru dalam sejarah kehidupan. Tidak hanya itu, peristiwa ini
    menandai berakhirnya periode Permian dan mengawali periode Triassic,
    ini juga menutup era Palezoik menjadi suatu awal bagi era Mesozoik.

    Beberapa
    tahun yang lalu, ada penemuan menarik mengenai penyebab dan konsekuensi
    dari kepunahan massal akhir-permian ini, yang berpengaruh pada setiap
    cabang ilmu pengtahuan tentang bumi. Beberapa dari penemuan tadi
    termasuk didalamnya studi tentang perubahan singkat elemen-elemen kimia
    dilautan lewat suatu dokumentasi detail sisa-sisa kepunahan juga ada
    suatu analisa baru yang menunjukkan bahwa pernah terjadi erupsi gunung
    meletus diujung periode Permo-Triassic.

    Bagaimana pengaruh
    peristiwa singkat ini pada suatu proses evolusi, yang sebagaimana kita
    tahu bahwa evolusi cenderung membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi?
    Apakah organisme selamat karena kebetulan, atau mereka telah
    beradaptasi dengan baik pada peristiwa tersebut? Dan apakah organisme
    yang hidup sekarang memiliki bentuk yang berbeda dengan keadaannya
    sebelum kepunahan akhir-permian ini terjadi?

    Hanya sedikit batuan yang tersisa

    Untuk
    menjawab pertanyaan diatas, kita harus mempelajari dahulu lebih dalam
    tentang penyebab terjadinya bencana dan bagaimana cara spesies selamat
    dari bencana tersebut. Sumber utama untuk mendapatkan informasi ini
    berasal dari lapisan-lapisan pada batuan dan fosil. Sayangnya, sampel
    batuan dari akhir permian dan awal periode Triassic ini sangatlah sulit
    untuk didapatkan. Penurunan level samudera diakhir periode permian
    menyebabkan terbatasnya batuan-batuan laut (marine rocks) yang
    terendapkan didaratan.

    Dan telah terbukti juga bahwa sangatlah
    sulit untuk mengetahui bagaimana kehidupan bisa hilang dengan cepat,
    yang ternyata keadaanya bervariasi pada tiap-tiap daerah. Beberapa
    makhluk hidup, khususnya yang sensitif terhadap perubahan lingkungan,
    akan langsung mati, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Erik Flugel dan
    koleganya, yang sampai pada kesimpulannya setelah mengamati berbagai
    batu karang yang berada di Cina Selatan dan Yunani. Bukti lain
    mengindikasikan adanya peristiwa bertahap terhadap pemusnahan
    kehidupan. Contohnya, saat mempelajari aneka ragam fauna yang
    terawetkan pada singkapan batugamping di Texas Selatan dan Arizona,
    salah seorang peneliti, Douglas H. Erwin, menemukan bahwa banyak dari
    spesies siput sebenarnya sudah mulai punah pada pertengahan periode
    Permian, jauh sebelum peristiwa kepunahan massal terjadi.

    Studi
    intensif terhadap penemuan baru pada perlapisan batuan yang berada di
    Italia, Austria, dan Cina selatan sangat membantu kita untuk lebih
    memahami masalah ini. Penemuan tadi mengindikasikan bahwa durasi
    kepunahan ternyata lebih pendek daripada yang diperkirakan sebelumnya.
    Beberapa tahun yang lalu, peneliti percaya bahwa periode kepunahan ini
    terjadi dalam jangka waktu 5-10 juta tahun. Sekarang diketahui bahwa
    puncak bencana tadi bisa saja terjadi dalam waktu selama kurang dari 1
    juta tahun.

    Steven M. Stanley dari John Hopkins University
    memiliki satu teori yang mengatakan bahwa peristiwa kepunahan tersebut
    terdiri dari 2 (dua) episode, satu terjadi dipertengahan periode
    Permian dan kedua diakhir periode permian. Jin Yugan dari Institut
    Nanjing, samuel A. Bowring dari Institut Teknologi Massachussets dan
    Douglas H. Erwin dari Smithsonian Institution berkolaborasi bersama
    dalam suatu proyek untuk menentukan umur abu vulkanik didaerah Cina
    Selatan dan secepatnya mampu memberikan pemahaman lebih baik terhadap
    durasi jangka waktu peristiwa kepunahan ini terjadi.

    Peristiwa
    bencana akhir-permian ini memusnahkan lebih banyak organisme makhluk
    hidup dibandingkan peristiwa lainnya. Kelompok organisme yang hidup
    menempel pada lantai samudera dan menyaring material organik untuk
    dijadikan nutrisi bagi kehidupannya adalah oganisme yang paling
    menderita dari peristiwa ini. Termasuk didalamnya binatang koral,
    brachiopoda, bryozoa, dan beraneka ragam echinoderma (lili laut). Yang
    lainnya adalah kelompok-kelompok binatang lau seperti trilobita,
    forminifera laut dangkal (sejenis zooplankton), dan ammonoid. Siput dan
    nautiloid yang juga berasal dari periode ini, hanyalah menderita dalam
    sebagian kecil saja.

    Didaratan juga tidaklah lebih baik.
    Hewan-hewan bertulang belakang dan serangga sama-sama mengalami
    pemusnahan yang berarti. Diantara vertebrata, sebanyak 78% reptil dan
    67% amphibi diperkirakan punah pada periode akhir-permian ini, meskipun
    seberapa cepatnya kepunahan ini terjadi masih diperdebatkan.

    Kepunahan
    spesies serangga adalah yang paling besar pengaruhnya dalam
    transformasi fauna. Dari 27 ordo serangga yang diketahui hidup pada
    periode permian, 8 (delapan) punah diujung periode Permo-Triassic, 4
    (empat) hampir saja punah namun menjadi normal kembali, dan 3 (tiga)
    dapat bertahan hidup melewati peristiwa ini, sebelum akhirnya punah.
    Ini hanyalah kepunahan serangga yang benar-benar telah teridentifikasi,
    dan menjadi sebuah catatan tentang tingkat severitas (keparahan)
    keadaan lingkungan pada masa ini.

    Tanaman yang hidup didarat pun
    tidak luput dari kepunahan. Greg J. Retallack dari university of Oregon
    menunjukkan bahwa kepunahan tanaman jauh lebih dramatis lagi daripada
    yang diperkirakan sebelumnya (punahnya tanaman turut berkontribusi pada
    musnahnya serangga yang menjadikan tanaman sebagai makanannya)

    Penyebab kepunahan

    Setelah
    diberikan bukti fosil dari flora fauna, laut dan darat, jelas bahwa
    pada periode permian ini segalanya menjadi tak terkendali – setidaknya
    apabila tiap spesies berkehendak untuk tetap hidup. Apa yang
    menyebabkan pemusnahan besar itu terjadi? Tidak ada bukti tentang
    adanya tumbukan benda-benda luar angkasa, sebagaimana yang membunuh
    dinosaurus. Dipertengahan tahun 1980, ada satu perkumpulan ahli geologi
    yang menyatakan bahwa mereka telah menemukan jejak-jejak Iridium dalam
    jumlah kecil, yang menjadi indikator kuat adanya ledakan besar, pada
    perlapisan batuan dari periode Permo-triassic di Cina Selatan. Meskipun
    mereka sudah melakukan banyak cara, tidak ada yang benar-benar
    memperhitungkan pernyataan ini.

    Tidak ada bukti kematian secara
    tiba-tiba, meskipun, satu kemungkinan adalah adanya bencana Vulkanik.
    Kunci dari pernyataan tadi ada disebuah daerah, yang disebut Siberian
    Traps, batuan disana terbentuk dari pembekuan lava kuno. Yang memiliki
    tebal antara 400 – 3.700 m. dan memiliki volume sedikitnya 1,5 juta
    km3, dan mungkin lebih besar lagi, karena terus meluas hingga ke
    pegunungan Ural. ( bila diperbandingkan, letusan gunung Pinatubo tahun
    1991 hanya bagaikan sebuah tiupan, yang mengeluarkan abu tanpa magma.
    Mungkin perbandingan lebih baik yaitu dengan erupsi gunung Laki,
    Islandia pada tahun 1783, yang mengeluarkan 15 km3 lava)

    Penanggalan
    radiometrik menyatakan bahwa seluruh lava di siberian traps berasal
    dalam jangka waktu kurang dari 1 juta tahun, atau barangkali hanya
    dalam 600.000 tahun, dari awal periode Permo-triassic. Paul R. Kenne
    dari pusat Geokronologi Berkeley menemukan bahwa angka perkiraan ini
    sesuai dengan umur erupsi besar lainnya, seperti yang menimbulkan
    endapan abu vulkanik di Cina Selatan.

    Mungkinkah bencana
    vulkanik ini juga yang memyembur ke bumi diwaktu akhir-permian? Erupsi
    gunung meletus dikenal mempunyai banyak variasi efek jangka-pendek.
    Termasuk didalamnya pendinginan suhu yang disebabkan debu dan sulfat
    yang disemburkan k edalam stratosfer, hujan asam, gas beracun, dan
    peningkatan radiasi sinar ultraviolet dari terkikisnya lapisan ozon.
    Untuk jangka panjang, karbon dioksida yang dihembuskan ke udara bisa
    menuju pada penghangatan suhu bumi.

    Hasil dari hipotesis ini,
    yang membunuh 90% spesies di samudera – sulit untuk diterima.
    Vulkanisme, bahkan yang sebesar dan sekuat yang membentuk Siberian
    Traps, masih belum cukup untuk menyebabkan peristiwa kepunahan massal
    ini terjadi. Thomas A. Vogel dari Michigan State University, ia
    meneliti serpihan-serpihan batu debu vulkanik dari erupsi gunung yang
    terjadi dalam jangka waktu 100 juta tahun yang lalu. Menemukan bahwa
    tidak ada satu pun kejadian erupsi gunung meletus ini yang benar-benar
    berakibat besar pada diversitas regional dan kehidupan global baik
    didarat maupun dilautan.

    Dan lagi, kerusakan lingkungan yang
    dihasilkan oleh suatu erupsi sangat bergantung pada beberapa faktor.
    Banyak efek vulkanik, seperti jumlah sulfat yang disemburkan ke
    stratosfer, sulit untuk menjadi sebuah indikasi erupsi yang terjadi 250
    juta tahun silam. Jadi, erupsi bisa saja berpengaruh dalam peristiwa
    kepunahan, namun hanya bagian dari sebuah proses yang lebih kompleks.

    Geokimia dan Laut yang Tidak Stabil

    Bukti
    baru yang paling menarik perhatian tentang kepunahan massal
    akhir-permian ini datang dari ilmu geokimia. Barangkali perubahan
    struktur geokimia adalah kunci yang paling relevan mengenai peningkatan
    rasio isotop karbon yang ditemukan di bebatuan (spesifiknya, rasio
    karbon-12 ke karbon-13). Fakta ini mengindikasikan, lebih banyak
    material organik yang terpendam selama periode akhir-permian
    dibandingkan periode-periode sebelumnya.

    Meskipun karbon
    terpendam ini memberitahu kita sesuatu tentang perubahan struktur
    geokimia dimasa akhir-permian, hal ini belum sepenuhnya jelas. Bisa
    saja ada sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, semisal penurunan
    mematikan level muka air laut. Dimasa awal-permian, benua tergabung
    menjadi satu membentuk superkontinent yang disebut Pangaea.
    Disekeliling benua, batu-batu karang dan komunitas laut-dangkal lainnya
    bermunculan. Beberapa juta tahun kemudian, didekat periode
    akhir-permian, level muka air laut turun. (tidak ada yang tahu jelasnya
    kenapa, tapi bisa saja disebabkan oleh perubahan struktur lapisan
    mantel bumi yang membentuk perluasan lantai samudera). Penurunan ini
    mengganggu habitat yang berada disekitar pantai. Semakin banyak tepi
    benua Pangaea yang terekspos, semakin besar pula erosi dan oksidasi
    material organik yang bisa terjadi. Oksidasi inilah yang menurunkan
    kadar oksigen dan meningkatkan kadar karbon dioksida di atmosfer,
    meningkatkan kelembapan udara menghangatkan bumi sebesar 2o Celsius.

    Pengrusakan
    yang lebih besar lagi terjadi ketika level muka air laut kembali
    meningkat, mungkin beberapa ribu tahun setelahnya. Peningkatan muka air
    laut ini mengikis habitat yang berada disekitaran pantai dan naik
    menyapu ke daratan. Tidak diragukan bahwa intrusi air laut tersebut
    membunuh banyak komunitas pantai. Penurunan kadar oksigen diatmosfer
    juga menambah kondisi lingkungan yang telah berkembang tadi menjad
    lebih parah. sedikitnya jumlah oksigen juga menghantui samudera,
    menyebabkan Anoxia, yang mana dapat membuat pingsan organisme yang
    hidup disana. Bukti air yang ter-anoxia ini mencerminkan anomali
    geokimia. Beberapa peneliti membuat pernyataan mengesankan, meskipun
    tidak benar-benar menarik perhatian, alasan bahwa corak kepunahan
    diantara aneka ragam spesies mencerminkan kemampuan organisme bertahan
    dalam menangani anoxia.

    Apa yang benar-benar menyebabkan
    kepunahan? Tidak mungkin hanya seperti sebutir peluru yang ditembakkan
    dan kehidupan langsung musnah, akan tetapi semua kemungkinan yang
    disebutkan diatas bisa saja turut berkontribusi. Sebuah
    ketidakberuntungan bagi flora fauna permian bila mereka harus
    berinteraksi pada semua kemungkinan tersebut pada waktu yang sama.

    Peneliti
    percaya bahwa proses kepunahan terdiri dari 3 (tiga) fase. Pertama
    dimulai dengan penurunan level muka air laut, yang menghilangkan
    habitat disekeliling pangaea, ketidakstabilan iklim dan eliminasi dari
    spesies yang terdistribusi sempit. Semakin lanjut regresi samudera
    tadi, fase kedua dimulai, dengan erupsi vulkanik dan pelepasan karbon
    dioksida dalam jumlah besar ke atmosfer, yang menambah ketidakstabilan
    iklim dan menyebabkan keruntuhan ekologi. Peningkatan level muka air
    laut dan rentetan banjir yang mengandung air yang ter-anoxia
    (kekurangan oksigen) diakhir periode permian mengawali fase yang
    ketiga, hal ini merusak habitat darat disekitar pantai dan
    berkontribusi besar dalam kepunahan organisme yang membutuhkan oksigen
    bagi kehidupannya.

    Kehidupan Setelah Kematian

    Periode
    setelah peristiwa kepunahan akhir-permian sama menariknya dengan
    peristiwa kepunahan itu sendiri. Kehidupan mulai normal kembali
    berjuta-tahun setelahnya. Dalam hal ini, sepertinya, membutuhkan waktu
    sekitar 5 juta tahun ( ada kemungkinan lebih lama daripada yang
    diperkirakan, karena buruknya kondisi fosil-fosil yang berhasil
    diselamatkan). Dengan menyampingkan seberapa lama waktu yang dibutuhkan
    untuk menjadi normal kembali, kehidupan dibumi berubah secara dramatis.

    Seperti
    yang diawal disebutkan bahwa sebagian besar binatang yang tidak mampu
    berpindah tempat mendominasi lautan permian; brachipoda, bryozoa, dan
    echinoderma. Mereka tergeletak diam di dasar, menyaring air untuk
    mendapatkan makanan atau menunggu binatang buruan berenang mendekat.
    Binatang yang mampu berpindah tempat – ikan, cephalopoda (cumi-cumi dan
    kerabatnya) dan gastropoda (siput) – hanya membentuk sebagian kecil
    dari komunitas laut. Beberapa trilobita tetap bertahan tidak lama
    setelah peristiwa kepunahan terjadi, pada masa yang disebut survival
    stage of early Triassic, beberapa spesies yang bertahan lainnya
    berkecenderungan karena mereka tersebar luas dan jumlahnya banyak.
    Fauna diawal periode Triassic terdiri dari beberapa clam, ammonoid, dan
    beberapa gastropoda. Nenek moyang mamalia, yang menyerupai reptile,
    Lystrosaurus, vertebrata darat yang ditemukan diseantero Pangaea dan
    spesies clam Claraia yang mampu bertahan hidup disamudera. Ditengah
    periode Triassic, sekitar 25 juta tahun setelahnya, sea urchin
    (menyerupai bintang laut) dan kelompok-kelompok organisme lain yang
    sensitif terhadap perubahan lingkungan mulai bermunculan kembali,
    menandai awal kembalinya kondisi normal binatang-binatang laut.
    “Lazarus Taxa” (seperti yang oleh David Jablonski dari Universitas
    Chicago namakan untuk mereka, karena mereka kembali dari kematian)
    mulai bermunculan diantara fauna yang bertahan hidup.

    Pada saat
    ini, lautan memiliki bentuk kehidupan yang hampir menyerupai samudera
    modern. Lebih banyak makhluk hidup yang dapat berpindah tempat, seperti
    siput, gastropoda dan kepiting, mendominasi. Kenakeragaman cephalopoda
    dan predator laut juga bermunculan. Sebuah kontes evolusi antara
    predator dan buruannya, membantu perubahan dalam arsitektur tubuh di
    era mesozoik, yang menyebabkan beragam fauna memiliki lebih banyak
    daging dibandingkan makhluk hidup yang ada di era paleozoik. Perubahan
    tersebut menghasilkan suatu ekosistem yang lebih kompleks dan lebih
    canggih – karena lebih banyak pilihan menu untuk dimakan,

    Kita
    pun tahu, bahwa beberapa reptile dan kelompok amphibi akhirnya
    berangsur-angsur punah. Serangga pun mengalami perubahan bentuk menjadi
    variasi kelompok yang menyerupai “dragonfly”, memiliki sayap yang tidak
    dapat dilipat ketubuhnya. Bentuk baru ini, yang merupakan 98% dari
    serangga sekarang, juga memiliki stage terpisah antara larva dan
    dewasa. Adaptasi ini mencerminkan kemampuan untuk menumbuhkan habitat
    baru juga untuk bertahan menghadapi perubahan musim dan ketidakstabilan
    iklim.

    Yang Cocok Akan Bertahan Hidup?

    Fauna yang
    bertahan hidup, gampangnya karena mereka memiliki jumlah besar dan
    terdistribusi luas diseantero pangaea sebelum peristiwa kepunahan
    terjadi. Dengan begitu mereka memiliki kesempatan lebih besar untuk
    bertahan hidup. Alasan yang cukup kuat untuk membedakan antara yang
    selamat dan yang tidak selamat.

    Satu hal yang pasti dapat
    dikatakan adalah bahwa kepunahan akhir-permian ini memiliki efek
    terbesar dalam sejarah kehidupan sejak bermunculannya flora dan fauna
    kompleks. Tanpa episode ini, mungkin bila kita melihat anak-anak kecil
    bermain dikolam, kita akan melihat mereka menangkap trilobita bukan
    menangkap ikan yang lewat. Dan kita akan lebih banyak belajar tentang
    crinoida dan brachiopoda dibandingkan belajar tentang bintang laut dan
    sea urchin.

      Waktu sekarang Sun May 19, 2024 9:22 pm